Apollotimes.news - Komisi II DPR RI sedang menyelesaikan revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2024 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), dengan target rampung pada tahun 2025. Revisi ini membawa perubahan mendasar dalam tata kelola ASN, termasuk pengusulan sistem merit yang memungkinkan mutasi ASN secara nasional. Salah satu poin utama revisi adalah pengalihan status pejabat eselon II ke atas, seperti kepala dinas dan sekretaris daerah, menjadi pegawai pusat. Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menegaskan bahwa langkah ini bertujuan meningkatkan fleksibilitas dan efektivitas distribusi sumber daya manusia di seluruh Indonesia. "Mulai dari eselon II ke atas akan menjadi ASN pusat, agar kepala dinas, sekretaris daerah, dan seterusnya bisa dirotasi dengan cukup baik secara nasional," kata Rifqi melalui laman resmi DPR, Selasa, 7 Januari 2025.
Transformasi ini memungkinkan pejabat ASN berpindah tugas ke berbagai wilayah, menciptakan pemerataan SDM yang lebih baik. Dengan sistem ini, pemerintah berharap meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah-daerah yang selama ini kurang optimal. Rifqi menjelaskan, "Dia (seorang ASN) bisa memulai karier di Bantul tapi kemudian bisa jadi kepala dinas di Tangerang Selatan. Bagi yang ada di Tangerang Selatan tidak menutup kemungkinan rotasi ke Papua Selatan." Sistem ini dirancang menyerupai mekanisme rotasi pada institusi Kepolisian RI, TNI, dan Kejaksaan, yang selama ini telah menerapkan rotasi nasional secara efektif.

Selain pemerataan, sistem merit dalam revisi UU ASN ini juga bertujuan untuk mencegah pelanggaran netralitas ASN, khususnya di daerah yang sering terlibat kontestasi politik seperti Pilkada. Rifqi menekankan, ASN yang bertugas terlalu lama di satu wilayah cenderung menjalin kedekatan dengan kandidat kepala daerah atau petahana. Hal ini berpotensi memicu ketidaknetralan ASN dalam Pilkada. "Maka dari itu residu Pilkada yang membuat ASN kita tidak netral, itu kita coba benahi di UU ASN," ujarnya. Dengan sistem rotasi nasional, ASN diharapkan tetap profesional dan netral dalam menjalankan tugasnya, terlepas dari dinamika politik lokal.
Namun, implementasi kebijakan ini memerlukan kesiapan yang matang. Pemerintah dan DPR akan mengatur pedoman teknis untuk mendukung transisi pejabat eselon II menjadi ASN pusat. Langkah ini juga melibatkan peningkatan kapasitas ASN agar dapat beradaptasi dengan lingkungan kerja baru. Menurut Rifqi, keberhasilan revisi ini sangat bergantung pada dukungan semua pihak, baik di tingkat pusat maupun daerah. "Polisi, tentara, jaksa, itu bisa rotasi nasional, maka ASN juga kita harapkan punya kemampuan itu," tambah Rifqi, seraya berharap fleksibilitas ini mendorong profesionalitas ASN.
Dengan target penyelesaian pada 2025, revisi UU ASN diharapkan menjadi tonggak penting dalam reformasi birokrasi Indonesia. Transformasi status pejabat eselon II menjadi ASN pusat dan penerapan rotasi nasional diyakini mampu menghadirkan tata kelola pemerintahan yang lebih merata, profesional, dan netral. Meski masih menghadapi tantangan implementasi, kebijakan ini adalah langkah strategis untuk memperkuat pelayanan publik yang responsif di seluruh daerah Indonesia.
